Latar belakang utama rubuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter di kawasan Asia yang menyebar mulai dari Thailand, Malaysia, Korea Selatan, dan terakhir Indonesia pada tahun 1997. Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia.[1] Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela dan timbulnya gerakan anti KKN, sementara kemiskinan rakyat terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total. Selain itu diperburuk dengan keadaan kondisi kesehatan Soeharto yang membuat lemahnya kinerjanya.[2]Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu meninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akan mengatur ulang Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Keberhasilan Pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan ekonomi, harus diakui sebagai suatu prestasi besar bagi bangsa Indonesia. Di tambah dengan meningkatnya sarana dan prasarana fisik infrastruktur yang dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun, keberhasilan ekonomi maupun infrastruktur Orde Baru kurang diimbangi dengan pembangunan mental (character building) para pelaksana pemerintahan (birokrat), aparat keamanan maupun pelaku ekonomi (pengusaha/ konglomerat). Klimaksnya, pada pertengahan tahun 1997, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sudah menjadi budaya (bagi penguasa, aparat dan penguasa).
Banyak hal yang mendorong timbulnya reformasi pada masa pemerintahan Orde Baru, terutama terletak pada ketidakadilan di bidang politik, ekonomi dan hukum. Tekad Orde Baru pada awal kemunculannya pada tahun 1966 adalah akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Setelah Orde Baru memegang tumpuk kekuasaan dalam mengendalikan pemerintahan, muncul suatu keinginan untuk terus menerus mempertahankan kekuasaannya atau status quo. Hal ini menimbulkan akses-akses nagatif, yaitu semakin jauh dari tekad awal Orde Baru tersebut. Akhirnya penyelewengan dan penyimpangan dari nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada UUD 1945, banyak dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Berikut ini adalah beberapa hal yang menyebabkan timbulnya Reformasi.
- Krisis Politik
Sistem politik yang timpang dan rentan yang dikembangkan selama tiga puluh tahun lebih berkuasa menjadikan salah satu faktor penyebab jatuhnya rezim Soeharto. Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan menimbulkan permasalahan politik. Ada kesan kedaulatan rakyat berada di tangan sekelompok tertentu, bahkan lebih banyak di pegang oleh para penguasa. Dalam UUD 1945 Pasal 2 telah disebutkan bahwa “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”. Pada dasarnya secara de jore (secara hukum) kedaulatan rakyat tersebut dilakukan oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat, tetapi secara de facto (dalam kenyataannya) anggota MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga sebagian besar anggota MPR itu diangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme).
Keadaan seperti ini mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya kepada institusi pemerintah, DPR, dan MPR. Ketidak percayaan itulah yang menimbulkan munculnya gerakan reformasi. Gerakan reformasi menuntut untuk dilakukan reformasi total di segala bidang, termasuk keanggotaan DPR dam MPR yang dipandang sarat dengan nuansa KKN.
Gerakan reformasi menuntut agar dilakukan pembaharuan terhadap lima paket undang-undang politik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan, di antaranya :
- UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum.
- UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPR/ MPR.
- UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
- UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum.
- UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.
Perkembangan ekonomi dan pembangunan nasional dianggap telah menimbulkan ketimpangan ekonomi yang lebih besar. Monopoli sumber ekonomi oleh kelompok tertentu, konglomerasi, tidak mempu menghapuskan kemiskinan pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Kondisi dan situasi Politik di tanah air semakin memanas setelah terjadinya peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa ini muncul sebagai akibat terjadinya pertikaian di dalam internal Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Krisis politik sebagai faktor penyebab terjadinya gerakan reformasi itu, bukan hanya menyangkut masalah sekitar konflik PDI saja, tetapi masyarakat menuntut adanya reformasi baik didalam kehidupan masyarakat, maupun pemerintahan Indonesia. Di dalam kehidupan politik, masyarakat beranggapan bahwa tekanan pemerintah pada pihak oposisi sangat besar, terutama terlihat pada perlakuan keras terhadap setiap orang atau kelompok yang menentang atau memberikan kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil atau dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, masyarakat juga menuntut agar di tetapkan tentang pembatasan masa jabatan Presiden.
Terjadinya ketegangan politik menjelang pemilihan umum tahun 1997 telah memicu munculnya kerusuhan baru yaitu konflik antar agama dan etnik yang berbeda. Menjelang akhir kampanye pemilihan umum tahun 1997, meletus kerusuhan di Banjarmasin yang banyak memakan korban jiwa. Pemilihan umum tahun 1997 ditandai dengan kemenangan Golkar secara mutlak. Golkar yang meraih kemenangan mutlak memberi dukungan terhadap pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden dalam Sidang Umum MPR tahun 1998 – 2003. Sedangkan di kalangan masyarakat yang dimotori oleh para mahasiswa berkembang arus yang sangat kuat untuk menolak kembali pencalonan Soeharto sebagai Presiden.
Dalam Sidang Umum MPR bulan Maret 1998 Soeharto terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia dan BJ. Habibie sebagai Wakil Presiden. Timbul tekanan pada kepemimpinan Presiden Soeharto yang datang dari para mahasiswa dan kalangan intelektual. Kemudian terjadinya demonstrasi besar-besaran yang diarahkan mahasiswa menuju ke Gedung DPR/MPR sebagai simbol dari wakil rakyat. Demonstrasi ini mengakibatkan pimpinan DPR dipaksa mengambil sikap tegas terhadap tuntutan para demonstran. Pada 20 Mei 1998, pimpinan DPR atas kesepakatan dialog dengandelegasi masyarakat yang memadati areal tersebut mengeluarkan ancaman bahwa akan segera mengadakan SI (Sidang Istimewa) MPR jika Soeharto tidak secepatnya mengundurkan diri. Sehingga melalui ancaman tersebut, Hermoko, Ketua MPR, sekaligus mengumumkan pula dead line bahwa kalau sampai batas waktu hati jumat 22 Mei 1998 presiden tidak menyatakan pengunduran dirinya, maka pimpinan DPR/MPR akan meelakukan rapat dengan seluruh fraksi yang dijadwalkan hari Senin, 25 Mei 1998, untuk membahas ageenda pelaksanaan SI MPR, demikian pula DPR juga mengeluarkan peringatan di hari yang sama. Sehingga pada 21 Mei 1998 di Istana Negara, Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden.[3]
- Krisis Hukum
Pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat banyak ketidakadilan. Sejak munculnya gerakan reformasi yang dimotori oleh kalangan mahasiswa, masalah hukum juga menjadi salah satu tuntutannya. Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar dapat mendudukkan masalah-masalah hukum pada kedudukan atau posisi yang sebenarnya.
- Krisis Ekonomi
Krisis moneter yang melanda Negara-negara di Asia Tenggara sejak bulan Juli 1996, sangat mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ekonomi Indonesia ternyata belum mampu untuk menghadapi krisi global tersebut. Dari sekian negara di Asia yang mengalami krisis ekonomi, Indonesia adalah negara yang paling parah tertimpa krisis tersebut, yaitu berawal dari anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang sangat tajam. Berawal pada bulan Oktober 1997 dengan mulai tergoncangnya nilai mata uang Asia Tenggara. Goncangan ini memaksa Indonesia meminta bantuan IMF. Pada bulan ini juga, Bursa Saham Asia kembali goncang, bunga bank naik sebesar 300%. IMF mengumumkan paket bantuan darurat untuk Indonesia senilai US$ 40. Bulan Januari 1998 rupiah semakin merosot tajam sampai 10.000 per dollar AS.[4]
Ketika nilai tukar rupiah semakin melemah, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0% dan berakibat pada iklim bisnis yang semakin bertambah lesu. Kondisi moneter Indonesia mengalami keterpurukan yaitu dengan dilikuidasainya sejumlah bank pada akhir tahun 1997. Sementara itu untuk membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (KLBI). Ternyata usaha yang dilakukan pemerintah ini tidak dapat memberikan hasil, karena pinjaman bank-bank bermasalah tersebut semakin bertambah besar dan tidak dapat di kembalikan begitu saja.
Selama riwayat panjang rezim Orde Baru, Soeharto memusatkan pusat perhatian pemerintahannya pada sistem ekonomi, bahwa sebuah rezim yang stabil harus dibangun diatas sebuah ekonomi yang stabil dan tumbuh berkembang. Hal ini terbalik dengan sistem Orde Lama yang pusatnya pada pembangunan negara bangsa, dan mempercayai bahwa ketika sistem politik sukses makan demikian pula pada sistem ekonominya. Lain dari pada hal tersebut, penanaman sistem ekonomi oleh Soeharto, membentuk satu masalah kunci yang berakibat fatal bagi kepemimpinannya dan bagi nasib bangsa, yaitu soeharto tidak bisa mengatasi pembiayaan pengeluaran pemerintah; teciptanya inflasi.[5]
Inflasi ini mengakibatkan krisis moneter yang tidak hanya menimbulkan kesulitan keuangan Negara, tetapi juga telah menghancurkan keuangan nasional. Memasuki tahun anggaran 1998/1999, krisis moneter telah mempengaruhi aktivitas ekonomi yang lainnya. Kondisi perekonomian semakin memburuk, karena pada akhir tahun 1997 persedian sembilan bahan pokok sembako di pasaran mulai menipis. Hal ini menyebabkan harga-harga barang naik tidak terkendali. Kelaparan dan kekurangan makanan mulai melanda masyarakat. Untuk mengatasi kesulitan moneter, Bantuan kucuran dana dari IMF yang sangat di harapkan oleh pemerintah belum terelisasi, walaupun pada 15 januari 1998 Indonesia telah menandatangani 50 butir kesepakatan (letter of intent atau Lol) dengan IMF.[6]
Faktor lain yang menyebabkan krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak terlepas dari masalah hutang luar negeri. Hutang Luar Negeri Indonesia Utang luar negeri Indonesia menjadi salah satu faktor penyebab munculnya krisis ekonomi. Namun, hutang luar negeri Indonesia tidak sepenuhnya merupakan hutang Negara, tetapi sebagian lagi merupakan hutang swasta. Hutang yang menjadi tanggungan Negara hingga 6 februari 1998 mencapai 63,462 miliar dollar Amerika Serikat, hutang pihak swasta mencapai 73,962 miliar dollar Amerika Serikat. Akibat dari hutang-hutang tersebut maka kepercayaan luar negeri terhadap Indonesia semakin menipis. Keadaan seperti ini juga dipengaruhi oleh keadaan perbankan di Indonesia yang di anggap tidak sehat karena adanya kolusi dan korupsi serta tingginya kredit macet.
Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945 Pemerintah Orde Baru mempunyai tujuan menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai Negara industri, namun tidak mempertimbangkan kondisi riil di masyarakat. Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat agrasis dan tingkat pendidikan yang masih rendah. Sementara itu, pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru sudah jauh menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila. Dalam Pasal 33 UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Sebaliknya, sistem ekonomi yang berkembang pada masa pemerintahan Orde Baru adalah sistem ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli, oligopoly, dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi.
Pola Pemerintahan Sentralistis Sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru bersifat sentralistis. Di dalam pelaksanaan pola pemerintahan sentralistis ini semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara diatur secara sentral dari pusat pemerintah yakni di Jakarta. Pelaksanaan politik sentralisasi yang sangat menyolok terlihat pada bidang ekonomi. Ini terlihat dari sebagian besar kekayaan dari daerah-daerah diangkut ke pusat. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan pemerintah dan rakyat di daerah terhadap pemerintah pusat. Politik sentralisasi ini juga dapat dilihat dari pola pemberitaan pers yang bersifat Jakarta-sentris, karena pemberitaan yang berasala dari Jakarta selalu menjadi berita utama. Namun peristiwa yang terjadi di daerah yang kurang kaitannya dengan kepentingan pusat biasanya kalah bersaing dengan berita-barita yang terjadi di Jakarta dalam merebut ruang, halaman, walaupun yang memberitakan itu pers daerah.
- Krisis Kepercayaan
Dengan terjadinya krisis hukum, politik dan terutama krisis ekonomi, hal ini membawa dampak kredibilitas pemerintah menjadi rendah dan rakyat mulai hilang kepercayaannya. Ketidakpercayaan masyarakat telah menjadi intitusional disease yang tercermin dari serangkaian fenomena yang telah melembaga, seperti maraknya praktek-praktek korupsi dan kolusi pejabat pemerintah dan pengusaha serta ketidak pastian hukum. R. Wiliam Liddle memandang krisis moneter di Indonesia telah berpengaruh buruk terhadap semua aspek kehidupan masyarakat. Hal ini telah membawa pemerintahan Orde Baru kehilangan legitimasinya.[7] Memburuknya situasi ini membangkitkan reaksi keras dari masyarakat, terutama para intelektual yang tergabung dalam gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa dan pelajar. Berbagai aksi demonstrasi mahasiswa didukung oleh elemen-elemen masyarakat seperti para tokoh masayarakat, buruh, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan lain-lain, yang digelar diberbagai pelosok tanah air.[8] Mereka mengklaim bahwa semua permasalahan yang saat itu terjadi adalah akibat kesalahan manajemen Presiden Soeharto, sehingga mereka menuntut keras agar Presiden Soeharto mundur dari kekuasaanya.[9]
Demontrasi di lakukan oleh para mahasiswa bertambah gencar setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Puncak aksi para mahasiswa terjadi tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa yang semula damai itu berubah menjadi aksi kekerasan setelah tertembaknya empat orang mahasiswa Trisakti yaitu Elang Mulia Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan. Tragedi Trisakti itu telah mendorong munculnya solidaritas dari kalangan kampus dan masyarakat yang menantang kebijakan pemerintahan yang dipandang tidak demokratis dan tidak merakyat.
Soeharto kembali ke Indonesia, namun tuntutan dari masyarakat agar Presiden Soeharto mengundurkan diri semakin banyak disampaikan. Rencana kunjungan mahasiswa ke Gedung DPR / MPR untuk melakukan dialog dengan para pimpinan DPR/MPR akhirnya berubah menjadi mimbar bebas dan mereka memilih untuk tetap tinggal di gedung wakil rakyat tersebut sebelum tuntutan reformasi total di penuhinya. Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat di Jakarta. Kemudian Presiden mengumumkan tentang pembentukan Dewan Reformasi, melakukan perubahan kabinet, segera melakukan Pemilihan Umum dan tidak bersedia dicalonkan kembali sebagai Presiden.
Dalam perkembangannya, upaya pembentukan Dewan Reformasi dan perubahan kabinet tidak dapat dilakukan. Seperti yang telah dibaha sebelumnya, pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri/berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia dan menyerahkan Jabatan Presiden kepada Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie dan langsung diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru di Istana Negara. Pelimpahan kekuasaan dari pemerintahan Soeharto ke B.J. Habibie telah memunculkan reaksi pro dan kontra dalam masyarakat.[10] Akhirnya semenjak itu kemudian Orde Baru berakhir digantikan Orde Reformasi.
Daftar Pustaka
Malik Haramain dan M. F Nurhuda, 1999, Mengawal Transisi: Refleksi Atas Pemantauan Pemilu ’99 (JAMPPI-UNDP).
Adi Suryadi Culla, 1999, Patah Tumbuh, Hilang Berganti: Sketsa Pergolakan Mahasiswa dalam Politik dan Sejarah Indonesia 1908-1998 (Jakarta: Rajawali Press).
Arif Yulianto, 2002, Hubugan Sipil-Militer di Indonesia Pasca Orba (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada).
Asvi Warman Adam, 2009, Penelusuran Sejarah Indonesia (Yogyakarta: penerbit Ombak).
Ikrar Nusa Bakti, et. al., 2001, Militer dan Kekerasan Orde Baru: Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli? (Bandung: Penerbit Mizan).
Jan Luiten Van Zanden Daan Marks, 2012, Ekonomi Indonesia 1800-2010; Antara Drama dan Keajaiban Pertumbuhan (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara).
[1]Arif Yulianto, 2002, Hubugan Sipil-Militer di Indonesia Pasca Orba (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), hlm. 341.
[2]Asvi Warman Adam, 2009, Penelusuran Sejarah Indonesia (Yogyakarta: penerbit Ombak), hlm. 113.
[3]Yuliato, Op. cit, hlm. 342.
Penyajian materi nya cukup bagus dan memahami tentang berakhirnya perkembangan order baru di indonesia ini
BalasHapus