A. Sejarah Lahirnya
VOC
Tujuan kedatangan
orang-orang Eropa ke dunia timur antara lain untuk mendapatkan keuntungan dan
kekayaan. Tujuan ini dapat dicapai setelah mereka menemukan rempah-rempah di
Kepulauan Nusantara. Berita tentang keuntungan yang melimpah berkat perdagangan
rempah-rempah itu menyebar luas. Dengan demikian, semakin banyak orang-orang
Eropa yang tertarik pergi ke Nusantara. Mereka saling berinteraksi dan bersaing
meraup keuntungan dalam berdagang. Para pedagang atau perusahaan dagang
Portugis bersaing dengan para pedagang Belanda, bersaing dengan para pedagang
Spanyol, bersaing dengan para pedagang Inggris, dan seterusnya.
Bahkan
tidak hanya antarbangsa, antarkelompok atau kongsi dagang, dalam satu bangsapun
mereka saling bersaing. Oleh karena itu, untuk memperkuat posisinya di dunia
timur masing-masing kongsi dagang dari suatu negara membentuk persekutuan
dagang bersama. Sebagai contoh seperti pada tahun 1600 Inggris membentuk sebuah
kongsi dagang yang diberi nama East India Company (EIC).
Kongsi dagang EIC ini kantor pusatnya berkedudukan di Kalkuta, India. Dari
Kalkuta ini kekuatan dan setiap kebijakan Inggris di dunia timur, dikendalikan.
Pada tahun 1811, kedudukan Inggris begitu kuat dan meluas bahkan pernah
berhasil menempatkan kekuasaannya di Nusantara. Persaingan yang cukup keras
juga terjadi antarperusahaan dagang orang-orang Belanda. Masing-masing ingin
memenangkan kelompoknya agar mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Kenyataan
ini mendapat perhatian khusus dari pihak pemerintah dan parlemen Belanda, sebab
persaingan antarkongsi Belanda juga akan merugikan Kerajaan Belanda sendiri.
Terkait dengan itu, maka pemerintah dan Parlemen Belanda (Staten Generaal) pada 1598 mengusulkan agar antarkongsi
dagang Belanda bekerja sama membentuk sebuah perusahaan dagang yang lebih
besar.
Usulan ini baru
terealisasi empat tahun berikutnya, yakni pada 20 Maret 1602 secara resmi
dibentuklah persekutuan kongsi dagang Belanda di Nusantara sebagai hasil fusi
antarkongsi yang telah ada. Kongsi dagang Belanda ini diberi nama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) atau
dapat disebut dengan “Perserikatan Maskapai Perdagangan Hindia Timur/Kongsi
Dagang India Timur”. VOC secara resmi didirikan di Amsterdam.
B. Tujuan Dibentuknya
VOC
Tujuan utama
dibentuknya VOC seperti tercermin dalam perundingan 15 Januari 1602 adalah
untuk “menimbulkan bencana pada musuh dan guna keamanan tanah air”.
Yang dimaksud musuh saat itu adalah Portugis dan Spanyol yang pada kurun Juni
1580 s.d. Desember 1640 bergabung menjadi satu kekuasaan yang hendak merebut
dominasi perdagangan di Asia. Untuk sementara waktu, melalui VOC bangsa Belanda
masih menjalin hubungan baik bersama masyarakat Nusantara.
VOC dipimpin oleh
sebuah dewan yang beranggotakan 17 orang direktur, sehingga disebut “Dewan
Tujuh Belas” yang juga disebut dengan Heeren XVII. Heeren XVII ini maksudnya
para tuan, misalnya Lord, Duke, Count, dari 17
provinsi yang ada di Belanda sebagai pemilik saham VOC. Mereka terdiri atas
delapan perwakilan kota pelabuhan dagang di Belanda. Markas Besar Dewan ini
berkedudukan di Amsterdam. Adapun tujuan dibentuknya VOC ini antara lain untuk:
1.
Menghindari persaingan yang tidak sehat antara sesama kelompok/kongsi
pedagang Belanda yang telah ada;
2.
Memperkuat kedudukan para pedagang Belanda dalam menghadapi persaingan
dengan para pedagang negara lain;
3.
Sebagai kekuatan revolusi (dalam perang 80 tahun), sehingga VOC memiliki
tentara.
C. Kewenangan dan Hak
Istimewa VOC
Dalam menjalankan
tugas, VOC ini memiliki beberapa kewenangan dan hak-hak antara lain:
1.
Melakukan monopoli perdagangan di wilayah antara Tanjung Harapan sampai
dengan Selat Magelhaens, termasuk Kepulauan Nusantara;
2.
Membentuk angkatan perang sendiri;
3.
Melakukan peperangan;
4.
Mengadakan perjanjian dengan raja-raja setempat;
5.
Mencetak dan mengeluarkan mata uang sendiri;
6.
Mengangkat pegawai sendiri; dan
7.
Memerintah di negeri jajahan.
Kewenangan di atas
sering disebut dengan hak oktroi. Sebagai sebuah kongsi dagang, dengan
kewenangan dan hak-hak di atas, menunjukkan bahwa VOC memiliki hak-hak istimewa
dan kewenangan yang sangat luas. VOC sebagai kongsi dagang bagaikan negara
dalam negara. Dengan memiliki hak untuk membentuk angkatan perang sendiri dan
boleh melakukan peperangan, maka VOC cenderung ekspansif. VOC terus berusaha
memperluas daerah-daerah di Nusantara sebagai wilayah kekuasaan dan
monopolinya. VOC juga memandang bangsa-bangsa Eropa yang lain sebagai musuhnya.
Mengawali ekspansinya tahun 1605 VOC telah berhasil mengusir Portugis dari
Ambon. Benteng pertahanan Portugis di Ambon dapat diduduki tentara VOC. Benteng
itu kemudian oleh VOC diberi nama Benteng Nieuw Victoria.
D. Pertumbuhan VOC
Pada awal
pertumbuhannya sampai tahun 1610, “Dewan Tujuh Belas” secara langsung harus
menjalankan tugas-tugas dan menyelesaikan berbagai urusan VOC, termasuk urusan
ekspansi untuk perluasan wilayah monopoli. Dapat dibayangkan “Dewan Tujuh
Belas” yang berkedudukan di Amsterdam di Negeri Belanda harus mengurus wilayah
yang ada di Kepulauan Nusantara. Sudah barang tentu “Dewan Tujuh Belas” tidak
dapat menjalankan tugas sehari-hari secara cepat dan efektif. Sementara itu,
persaingan dan permusuhan dengan bangsa-bangsa lain juga semakin keras.
Berangkat dari permasalahan ini maka pada 1610 secara kelembagaan diciptakan
jabatan baru dalam organisasi VOC, yakni jabatan gubernur jenderal. Gubernur
jenderal merupakan jabatan tertinggi yang bertugas mengendalikan kekuasaan di
negeri jajahan VOC. Di samping itu juga dibentuk Dewan Hindia (Raad van Indie).
Tugas “Dewan Hindia” ini adalah memberi nasihat dan mengawasi kepemimpinan
gubernur jenderal.
Gubernur jenderal VOC
yang pertama adalah Pieter Both (1602-1614).
Sebagai gubernur jenderal yang pertama, Pieter Both sudah tentu harus mulai
menata organisasi kongsi dagang ini sebaik-baiknya agar harapan mendapatkan
monopoli perdagangan di Hindia Timur dapat diwujudkan. Pieter Both pertama kali
mendirikan pos perdagangan di Banten pada tahun 1610. Pada tahun itu juga
Pieter Both meninggalkan Banten dan berhasil memasuki Jayakarta. Penguasa
Jayakarta waktu itu, Pangeran Wijayakrama sangat
terbuka dalam hal perdagangan.
Pedagang
dari mana saja bebas berdagang, di samping dari Nusantara juga dari luar
seperti dari Portugis, Inggris, Gujarat/India, Persia, Arab, termasuk juga
Belanda. Dengan demikian, Jayakarta dengan pelabuhannya Sunda Kelapa menjadi
kota dagang yang sangat ramai. Kemudian pada tahun 1611 Pieter Both berhasil
mengadakan perjanjian dengan penguasa Jayakarta, guna pembelian sebidang tanah
seluas 50×50 vadem (satu vadem sama dengan
182 cm) yang berlokasi di sebelah timur Muara Ciliwung. Tanah inilah yang
menjadi cikal bakal hunian dan daerah kekuasaan VOC di tanah Jawa dan menjadi
cikal bakal Kota Batavia. Di lokasi ini kemudian didirikan bangunan batu
berlantai dua sebagai tempat tinggal, kantor dan sekaligus gudang. Pieter Both
juga berhasil mengadakan perjanjian dan menanamkan pengaruhnya di Maluku dan
berhasil mendirikan pos perdagangan di Ambon.
E.
Keserakahan dan Kekejaman VOC
Pada tahun 1614 Pieter Both digantikan oleh Gubernur Jenderal Gerard Reynst (1614-1615).
Baru berjalan satu tahun ia digantikan gubernur jenderal yang baru yakni Laurens Reael (1615-1619).
Pada masa jabatan Laurens Reael ini berhasil dibangun Gedung Mauritius yang
berlokasi di tepi Sungai Ciliwung. Orang-orang Belanda yang tergabung dalam VOC
itu memang cerdik. Pada awalnya mereka bersikap baik dengan rakyat. Hubungan
dagang dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara juga berjalan lancar.
Bahkan, sewaktu orang-orang Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Pieter
Both diizinkan oleh Pangeran Wijayakrama untuk membangun tempat tinggal dan
loji di Jayakarta. Sikap baik rakyat dan para penguasa setempat ini
dimanfaatkan oleh VOC untuk semakin memperkuat kedudukannya di Nusantara. Lama
kelamaan orang-orang Belanda mulai menampakkan sikap congkak dan sombong.
Setelah merasakan nikmatnya tinggal di Nusantara/Indonesia dan
menikmati keuntungan yang melimpah dalam berdagang, Belanda semakin bernafsu
ingin menguasai Indonesia. Untuk memenuhi nafsu serakahnya itu, VOC sering
melakukan tindakan pemaksaan dan kekerasan terhadap kaum pribumi. Hal ini telah
menimbulkan kebencian rakyat dan para penguasa lokal. Rakyat dan para penguasa
lokal tidak mau diperlakukan semena-mena oleh VOC. Oleh karena itu, tidak
jarang menimbulkan perlawanan dari rakyat dan penguasa lokal. Sebagai contoh
pada tahun 1618 Sultan Banten yang dibantu tentara Inggris di bawah Laksamana Thomas Dale berhasil
mengusir VOC dari Jayakarta. Orang-orang VOC kemudian menyingkir ke Maluku.
Setelah VOC hengkang dari Jayakarta, pasukan Banten pada awal tahun 1619 juga
mengusir Inggris dari Jayakarta. Dengan demikian, Jayakarta sepenuhnya dapat
dikendalikan oleh Kerajaan Banten. Pada tahun 1619 Gubernur Jenderal VOC Laurens Reael
digantikan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen (J.P. Coen). J.P. Coen dikenal gubernur jenderal yang
berani dan kejam serta ambisius. Oleh karena itu, merasa bangsanya dipermalukan
pasukan Banten dan Inggris di Jayakarta, maka J.P. Coen mempersiapkan pasukan
untuk menyerang Jayakarta. Armada angkatan laut dengan 18 kapal perangnya
mengepung Jayakarta. Jayakarta akhirnya dapat diduduki VOC. Kota Jayakarta
kemudian dibumihanguskan oleh J.P. Coen pada tanggal 30 Mei 1619. Di atas
puing-puing kota Jayakarta itulah dibangun kota baru bergaya kota dan bangunan
di Belanda. Kota baru itu dinamakan Batavia sebagai pengganti nama Jayakarta. J.P. Coen adalah gubernur jenderal yang
ambisius untuk menguasai berbagai wilayah di Indonesia. Ia juga dapat dikatakan
sebagai peletak dasar penjajahan VOC di Indonesia. Disertai dengan sikap
congkak dan tindakan yang kejam, J.P. Coen berusaha meningkatkan eksploitasi
kekayaan bumi Nusantara untuk keuntungan pribadi dan negerinya. Cara-cara VOC
untuk meningkatkan eksploitasi kekayaan alam dilakukan antara lain dengan:
1.
Merebut pasaran produksi pertanian, biasanya dengan memaksakan monopoli,
seperti monopoli rempah-rempah di Maluku;
2.
Tidak ikut aktif secara langsung dalam kegiatan produksi hasil pertanian.
Cara memproduksi hasil pertanian dibiarkan berada di tangan kaum pribumi,
tetapi yang penting VOC dapat memperoleh hasil-hasil pertanian itu dengan
mudah, sekalipun harus dengan paksaan;
3.
VOC selalu mengincar dan berusaha keras untuk menduduki tempat-tempat yang
memiliki posisi strategis. Cara-cara yang dilakukan, di samping dengan
kekerasan dan peperangan, juga melakukan politik adu domba;
4.
VOC melakukan campur tangan (intervensi) terhadap kerajaan-kerajaan di
Nusantara, terutama menyangkut usaha pengumpulan hasil bumi dan pelaksanaan
monopoli, serta melakukan intervensi dalam pergantian penguasa lokal;
5.
Lembaga-lembaga pemerintahan tradisional/kerajaan masih tetap dipertahankan
dengan harapan bisa dipengaruhi/dapat diperalat, kalau tidak mau baru
diperangi.
Cara-cara seperti
monopoli, intervensi dan politik adu domba itu kemudian menjadi kebiasaan VOC
dan pemerintah kolonial Belanda dalam melestarikan penjajahannya di Indonesia.
Setelah berhasil
membangun Batavia dan meletakkan dasar-dasar penjajahan di Nusantara, pada
tahun 1623 J.P. Coen kembali ke negeri Belanda. Ia menyerahkan kekuasaannya
kepada Pieter de Carpentier.
Tetapi oleh pimpinan VOC di Belanda, J.P. Coen diminta kembali ke Batavia.
Akhirnya pada tahun 1627 J.P. Coen tiba di Batavia dan diangkat kembali sebagai
Gubernur Jenderal untuk jabatan yang kedua kalinya. J.P. Coen semakin congkak
dan kejam dalam menjalankan kekuasaannya di Nusantara. Berbagai bentuk tindakan
kekerasan, tipu muslihat dan politik devide et impera terus
dilakukan. Rakyat pun semakin menderita. Pada masa jabatan yang kedua J.P. Coen
ini pula terjadi serangan tentara Mataram di bawah Sultan Agung ke Batavia.
Batavia senantiasa
memiliki posisi yang strategis. Batavia dijadikan markas besar VOC. Semua
kebijakan dan tindakan VOC di kawasan Asia dikendalikan dari markas besar VOC
di Batavia. Selain itu Batavia juga terletak pada persimpangan atau menjadi
penghubung jalur perdagangan internasional. Batavia menjadi pusat perdagangan
dan jalur yang menghubungkan perdagangan di Nusantara bagian barat dengan
Malaka, India, kemudian juga menghubungkan dengan Nusantara bagian timur.
Apalagi Nusantara bagian timur ini menjadi daerah penghasil rempah-rempah yang
utama, maka posisi Batavia yang berada di tengah-tengah itu menjadi semakin
strategis dalam perdagangan rempah-rempah.
VOC semakin bernafsu
dan menunjukkan keserakahannya untuk menguasai wilayah Nusantara yang kaya
rempah-rempah ini. Tindakan intervensi politik terhadap kerajaan-kerajaan di
Nusantara dan pemaksaan monopoli perdagangan terus dilakukan. Politik devide et impera dan berbagai tipu daya juga
dilaksanakan demi mendapatkan kekuasaan dan keuntungan sebesar-besarnya.
Sebagai contoh, Mataram Islam yang merupakan kerajaan kuat di Jawa akhirnya
juga dapat dikendalikan secara penuh oleh VOC. Hal ini terjadi setelah dengan
tipu muslihat VOC, Raja Pakubuwana II yang sedang dalam keadaan sakit keras
dipaksa untuk menandatangani naskah penyerahan kekuasaan Kerajaan Mataram Islam
kepada VOC pada tahun 1749. Tidak hanya kerajaan-kerajaan di Jawa,
kerajaan-kerajaan di luar Jawa berusaha ditaklukkan.
Untuk
memperkokoh kedudukannya di Indonesia bagian barat dan memperluas pengaruhnya
di Sumatera, VOC berhasil menguasai Malaka. Hal ini terjadi setelah VOC
mengalahkan saingannya, yakni Portugis pada tahun 1641. Berikutnya VOC berusaha
meluaskan pengaruhnya ke Aceh. Kerajaan Makassar di bawah Sultan Hasanuddin
yang tersohor di Indonesia bagian timur juga berhasil dikalahkan setelah
terjadi Perjanjian Bongaya tahun 1667. Dari Makasar VOC
juga berhasil memaksakan kontrak dan monopoli perdagangan dengan Raja Sulaiman
dari Kalimantan Selatan. Pelaksanaan monopoli di kawasan ini dilaksanakan
melalui Pelayaran Hongi.
F.
Pengaruh dan Kekuasaan VOC
Memahami uraian di atas, jelas bahwa VOC yang merupakan kongsi
dagang itu berangkat dari usaha mencari untung kemudian dapat menanamkan
pengaruh serta kekuasaannya di Nusantara. Fenomena ini juga terjadi pada kongsi
dagang milik bangsa Eropa yang lain. Artinya, untuk memperkokoh tindakan
monopoli dan memperbesar keuntungannya orang-orang Eropa itu harus memperbanyak
daerah yang dikuasai (daerah koloninya). Tidak hanya daerah yang dikuasai secara
ekonomi, kongsi dagang itu juga ingin mengendalikan secara politik atau
memerintah daerah tersebut. Bercokollah kemudian kekuatan kolonialisme dan imperialisme.
Dalam praktiknya, antara kolonialisme dan imperialisme sulit
untuk dipisahkan. Kolonialisme merupakan bentuk pengekalan imperialisme (Taufik
Abdullah dan A.B. Lapian (ed), 2012). Muara kedua paham itu adalah penjajahan
dari negara yang satu terhadap daerah atau bangsa yang lain. Sistem inilah yang
umumnya diterapkan bangsa-bangsa Eropa yang datang di Kepulauan Nusantara, baik
Portugis, Spanyol, Inggris maupun Belanda. Sistem ekonomi dan praktik
penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Eropa itu tidak dilepaskan dari sistem
ekonomi yang berkembang di Eropa yakni sistem ekonomi merkantilisme, sejak abad
ke-16.
Merkantilisme merupakan sistem ekonomi yang menekan peraturan
dan praktik ekonomi pemerintahan suatu negara dengan tujuan memperluas
kekuasaan dengan mengorbankan kekuatan nasional negara saingannya.
Merkantilisme ini diarahkan untuk menambah cadangan moneter dengan melakukan
ekspansi ke negara lain. Paham inilah yang mendorong terjadinya kolonialisme.
Oleh karena itu, ciri yang menonjol dalam sistem ekonomi merkantilisme yakni
menciptakan koloni di luar negaranya sendiri dan melakukan monopoli
perdagangan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa kedatangan bangsa-bangsa
Eropa ke dunia Timur telah melahirkan koloni-koloni di berbagai wilayah.
Semua itu dalam rangka mencapai kejayaan bangsanya atas
masyarakat atau bangsa yang lain. Pihak atau bangsa lain dipandang sebagai
musuh dan harus disingkirkan. Sifat keangkuhan dan keserakahan ini telah
menghiasi perilaku kaum penjajah. Inilah sifat-sifat yang sangat dibenci dan
tidak diridai oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Demikian halnya dengan VOC, tidak sekedar menjadi sebuah kongsi
dagang yang berusaha untuk mencari untung saja, tetapi juga ingin menanamkan
kekuasaannya di Nusantara. VOC dengan hak-hak dan kewenangan yang diberikan
pemerintah dan parlemen Belanda telah melakukan penjajahan dan penguatan akar
kolonialisme dan imperialisme. VOC telah melakukan praktik penjajahan di
Nusantara. Melalui cara-cara pemaksaan monopoli perdagangan, politik memecah
belah serta tipu muslihat yang sering disertai tindak peperangan dan kekerasan,
semakin memperluas daerah kekuasaan dan memperkokoh “kemaharajaan” VOC. Sekali
lagi tindak keserakahan dan kekerasan yang dilakukan oleh VOC itu menunjukkan
mereka tidak mau bersyukur atas karunia yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu, wajar kalau timbul perlawanan dari berbagai daerah di
Nusantara, misalnya dari Aceh, Banten, Demak, Mataram, Banjar, Makassar, dan
Maluku.
G. VOC Bangkrut
Pada abad ke-17 hingga awal abad ke-18, VOC mengalami puncak
kejayaan. Penguasa dan kerajaan-kerajaan lokal di Nusantara umumnya berhasil
dikuasai. Kerajaan-kerajaan itu sudah menjadi bawahan dan pelayan kepentingan
VOC. Jalur perdagangan yang dikendalikan VOC menyebar luas membentang dari
Amsterdam, Tanjung Harapan, India sampai Irian/Papua. Keuntungan perdagangan
rempah-rempah juga melimpah.
Namun di balik itu ada persoalan-persoalan yang bermunculan.
Semakin banyak daerah yang dikuasai ternyata juga membuat masalah pengelolaan
semakin kompleks. Semakin luas daerahnya, pengawasan juga semakin sulit. Kota
Batavia semakin ramai dan semakin padat. Orang-orang timur asing seperti Cina
dan Jepang diizinkan tinggal di Batavia. Sebagai pusat pemerintahan VOC,
Batavia juga semakin dibanjiri penduduk, dari luar Batavia sehingga tidak
jarang menimbulkan masalah-masalah sosial.
Pada tahun 1749 terjadi perubahan yang mendasar dalam lembaga
kepengurusan VOC. Pada tanggal 27 Maret 1749, Parlemen Belanda mengeluarkan UU
yang menetapkan bahwa Raja Willem IV sebagai penguasa tertinggi VOC. Dengan
demikian, anggota pengurus “Dewan Tujuh Belas” yang semula dipilih oleh
parlemen dan provinsi pemegang saham (kecuali Provinsi Holland), kemudian
sepenuhnya menjadi tanggung jawab Raja. Raja juga menjadi panglima tertinggi tentara
VOC. Dengan demikian, VOC berada di bawah kekuasaan raja. Pengurus VOC mulai
akrab dengan pemerintah Belanda. Kepentingan pemegang saham menjadi terabaikan.
Pengurus tidak lagi berpikir memajukan usaha perdagangannya, tetapi berpikir
untuk memperkaya diri. VOC sebagai kongsi dagang swasta keuntungannya semakin
merosot. Bahkan tercatat pada tahun 1673 VOC tidak mampu membayar dividen. Kas
VOC juga merosot tajam karena serangkaian perang yang telah dilakukan VOC dan
beban hutang pun tidak terelakkan.
Sementara itu para pejabat VOC juga mulai menunjukkan sikap dan
perilaku gila hormat yang cenderung feodalis. Pada tanggal 24 Juni 1719
Gubernur Jenderal Hendrick Zwaardecroon mengeluarkan ordonansi untuk
mengatur secara rinci cara penghormatan terhadap gubernur jenderal, kepada
Dewan Hindia beserta istri dan anak-anaknya. Misalnya, semua orang harus turun
dari kendaraan bila berpapasan dengan para pejabat tinggi tersebut, warga
keturunan Eropa harus menundukkan kepala, dan warga bukan orang Eropa harus
menyembah. Kemudian Gubernur Jenderal Jacob Mosel juga mengeluarkan ordonansi
baru tahun 1754. Ordonansi ini mengatur kendaraan kebesaran. Misalnya kereta
ditarik enam ekor kuda, hiasan berwarna emas dan kusir orang Eropa untuk kereta
kebesaran gubernur jenderal, sedang untuk anggota dewan Hindia, kuda yang
menarik kereta hanya empat ekor dan hiasannya warna perak. Nampaknya para
pejabat VOC sudah gila hormat dan ingin berfoya-foya. Sudah barang tentu ini
juga membebani anggaran.
Posisi jabatan dan berbagai simbol kehormatan tersebut tidaklah
lengkap tanpa hadiah dan upeti. Sistem upeti ini ternyata juga terjadi di
kalangan para pejabat, dari pejabat di bawahnya kepada pejabat yang lebih
tinggi. Hal ini semua terkait dengan mekanisme pergantian jabatan di tubuh
organisasi VOC. Semua bermuatan korupsi. Gubernur Jenderal Joan van Hoorn konon menumpuk harta sampai 10 juta
gulden ketika kembali ke Belanda pada tahun 1709, sementara gaji resminya hanya
sekitar 700 gulden sebulan. Gubernur Maluku berhasil mengumpulkan kekayaan
20-30 ribu gulden dalam waktu 4-5 tahun, dengan gaji sebesar 150 gulden per
bulan. Untuk menjadi karyawan VOC juga harus “menyogok”.
Pengurus VOC di Belanda memasang tarif sebesar f 3.500,- bagi
yang ingin menjadi pegawai onderkoopman (pada
hal gaji resmi per bulan sebagai onderkoopman hanya f.40,- perbulan), untuk
menjadi kapitein harus menyogok f.2000,- dan untuk
menjadi kopral harus membayar 120 gulden begitu seterusnya yang semua telah
merugikan uang lembaga. Demikianlah para pejabat VOC terjangkit penyakit
korupsi karena ingin kehormatan dan kemewahan sesaat. Beban utang VOC menjadi
semakin berat, sehingga akhirnya VOC sendiri bangkrut dan gulung tikar. Bahkan
ada sebuah ungkapan, VOC kepanjangan dari Vergaan Onder Corruptie (tenggelam
karena korupsi) (R.Z. Leirissa. “Verenigde Oost Indische
Compagnie (VOC)” dalam Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012).
Dalam kondisi bangkrut VOC tidak dapat berbuat banyak. Menurut penilaian pemerintah keberadaan VOC sebagai kongsi dagang yang menjalankan roda pemerintahan di negeri jajahan tidak dapat dilanjutkan lagi. VOC telah bangkrut. Oleh karena itu, pada tanggal 31 Desember 1799 VOC dinyatakan bubar. Semua utang piutang dan segala milik VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda. Pada waktu itu sebagai Gubernur Jenderal VOC yang terakhir Van Overstraten masih harus bertanggung jawab tentang keadaan di Hindia Belanda. Ia bertugas mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.
Pertanyaan!
1. Jelaskan latar belakang berdirinya VOC?
2. Sebutkan kebijakan yang dilaksanakan VOC?
3. Jelaskan faktor runtuhnya VOC?
Kerjakan di buku tugas kemudian bisa kirimkan ke WA bapak
Nama : Sabrina Aulia Rahma
BalasHapusKelas : 11 Ipa 4
Najwa Salma Fathin
BalasHapusXI IPA 4
Agil Thoriq Al-Ghufroni
BalasHapusXI IPA 4
Nama : Widia Dwi Aprilia
BalasHapusKelas.: XI IPA 4
Haida komala putri XI Ipa 4
BalasHapusNama:jeni ayu amanda
BalasHapusKelas:XI IPA 4
Nama:Amelia Anggela
BalasHapusKelas:Xl IPA 4