Nama Guru : Putut Wisnu Kurniawan M.Pd.
Mapel
: Sejarah Indonesia
Kelas
: X
KD
: 3.5 Menganalisis berbagai teori tentang proses
masuknya agama dan
kebudayaan
Islam ke Indonesia
Assalamualaikum…
apa kabar anak anakku? Pelajaran sejarah hari ini silahkan dikerjakan soal
bawah ini kemudian… jangan lupa laksanakan sholat dhuha … selamat belajar.
1. Kerajaan
Samudera Pasai (1267 – 1521 )
Merupakan kerajaan pertama di Indonesia yang menganut Islam dan mengalami
perkembangan pada pertengahan abad ke-13. Kerajaan Samudra Pasai tercatat dalam
sejarah sebagai kerajaan Islam yang pertama dan kapan tahun pasti berdirinya
belum diketahui dengan jelas. Kerajaan Samudra Pasai terletak di Kabupaten
Lhoukseumawe, Aceh Utara, yang berbatasan dengan Selat Malaka. Berdasarkan
lokasi kerajaan Samudra Pasai tersebut, maka dapatlah dikatakan posisi Samudra
Pasai sangat strategis karena terletak di jalur perdagangan internasional, yang
melewati Selat Malaka. Dengan posisi yang strategis tersebut, Samudra Pasai
berkembang menjadi kerajaan Islam yang cukup kuat, dan di pihak lain Samudra
Pasai berkembang sebagai bandar transito yang menghubungkan para pedagang Islam
yang datang dari arah barat dan para pedagang Islam yang datang dari arah
timur. Keadaan ini mengakibatkan Samudra Pasai mengalami perkembangan yang
cukup pesat pada masa itu baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan
budaya.
Kehidupan Politik
Kerajaan Samudra Pasai yang didirikan oleh Marah Silu bergelar Sultan Malik
al-Saleh, sebagai raja pertama yang memerintah tahun 1267 – 1297. Pada masa
pemerintahannya, datang seorang musafir dari Venetia (Italia) tahun 1292 yang
bernama Marcopolo, melalui catatan perjalanan Marcopololah maka dapat diketahui
bahwa raja Samudra Pasai bergelar Sultan. Setelah Sultan Malik al-Saleh wafat,
maka pemerintahannya digantikan oleh keturunannya yaitu Sultan Muhammad
al-Zahir atau Malik al-Tahir I (1297 – 1326). Pengganti dari Sultan Muhammad
adalah Sultan Mahmud yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir II (1326 –
1345). Pada masa ini pemerintahan Samudra Pasai berkembang pesat dan terus
menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan Islam di India, hingga pada awal
abad ke-16 terjadi beberapa pemberontakan internal di Pasai yang mengakibatkan
perang saudara sebelum akhirnya runtuh setelah mendapatkan serangan dari
Portugis tahun 1521.
Kehidupan Ekonomi
Uang Peninggalan Kerajaan
Samudera Pasai
Berdasarkan letaknya yang strategis, maka Samudra
Pasai berkembang sebagai kerajaan Maritim, dan bandar transito. Dengan demikian
Samudra Pasai menggantikan peranan Sriwijaya di Selat Malaka. Kerajaan Samudra
Pasai memiliki hegemoni (pengaruh) atas pelabuhan-pelabuhan penting di Pidie,
Perlak, dan lain-lain. Samudra Pasai berkembang pesat pada masa pemerintahan
Sultan Malik al-Tahir II. Hal ini juga sesuai dengan keterangan Ibnu Batutah.
Menurut cerita Ibnu Batutah, perdagangan di Samudra Pasai semakin ramai dan
bertambah maju karena didukung oleh armada laut yang kuat, sehingga para
pedagang merasa aman dan nyaman berdagang di Samudra Pasai. Komoditi
perdagangan dari Samudra yang penting adalah lada, kapurbarus dan emas. Dan
untuk kepentingan perdagangan sudah dikenal uang sebagai alat tukar yaitu uang
emas yang dinamakan Deureuham (dirham).
Kehidupan Sosial Budaya
Kemajuan dalam bidang ekonomi membawa dampak pada
kehidupan sosial, masyarakat Samudra Pasai menjadi makmur. Kehidupan
masyarakatnya diwarnai dengan semangat kebersamaan dan hidup saling menghormati
sesuai dengan syariat Islam. Hubungan antara Sultan dengan rakyat terjalin
baik. Sultan biasa melakukan musyawarah dan bertukar pikiran dengan para ulama,
dan Sultan juga sangat hormat pada para tamu yang datang, bahkan tidak jarang
memberikan tanda mata kepada para tamu. Samudra Pasai mengembangkan sikap
keterbukaan dan kebersamaan. Salah satu bukti dari hasil peninggalan budayanya,
berupa batu nisan Sultan Malik al-Saleh dan jirat Putri Pasai. Kehidupan sosial
Pasai diatur menurut aturan hukum islam bahkan Pasai juga memiliki kontribusi
yang besar dalam pengembangan dan penyebaran agama Islam di nusantara dengan
cara mengirimkan beberapa ulama-ulama mereka untuk menyebarkan agama Islam di
Jawa.
2. Kerajaan
Islam di Malaka
Masa Kerajaan Malaka antara tahun 1396-1511 Masehi. Berada di Semenanjung
Malaya dengan ibukota di Malaka Pusat
perdagangan dan penyebaran Islam di Asia Tenggara. Kerajaan Malaka didirikan oleh Parameswara antara tahun 1396-1414 M.
Parameswara berasal dari Sriwijaya, dan merupakan putra Raja Sam Agi. Saat itu,
ia masih menganut agama Hindu. Ia melarikan diri ke Malaka karena kerajaannya
di Sumatera runtuh akibat diserang Majapahit. Pada saat Malaka didirikan, di
situ terdapat penduduk asli dari Suku Laut yang hidup sebagai nelayan. Mereka
berjumlah lebih kurang tiga puluh keluarga. Raja dan pengikutnya adalah
rombongan pendatang yang memiliki tingkat kebudayaan yang jauh lebih tinggi,
karena itu, mereka berhasil mempengaruhi masyarakat asli. Kemudian, bersama penduduk
asli tersebut, rombongan pendatang mengubah Malaka menjadi sebuah kota yang
ramai. Selain menjadikan kota tersebut sebagai pusat perdagangan, rombongan
pendatang juga mengajak penduduk asli menanam tanaman yang belum pernah mereka
kenal sebelumnya, seperti tebu, pisang, dan rempah-rempah.
Rombongan pendatang juga telah menemukan
biji-biji timah di daratan. Dalam perkembangannya, kemudian terjalin hubungan
perdagangan yang ramai dengan daratan Sumatera. Salah satu komoditas penting
yang diimpor Malaka dari Sumatera saat itu adalah beras. Malaka amat bergantung
pada Sumatera dalam memenuhi kebutuhan beras ini, karena persawahan dan
perladangan tidak dapat dikembangkan di Malaka. Hal ini kemungkinan disebabkan
teknik bersawah yang belum mereka pahami, atau mungkin karena perhatian mereka
lebih tercurah pada sektor perdagangan, dengan posisi geografis strategis yang
mereka miliki.
Kehidupan Ekonomi Pusat dan penguasa perdagangan di Asia Tenggara, ramai
oleh lalu lintas kapal. Malaka memungut pajak penjualan, bea cukai
barang-barang yang masuk dan keluar, yang banyak memasukkan uang ke kas negara.
Adanya undang-undang laut yang berisi pengaturan pelayaran dan perdagangan di
wilayah kerajaan.
Politik Negara
Paham politik hidup yang diterapkan di Kerajaan
Malaka adalah berdampingan secara damai (co-existence policy) yang dijalankan
secara efektif. Politik hidup berdampingan secara damai dilakukan melalui
hubungan diplomatik dan ikatan perkawinan. Politik ini dilakukan untuk menjaga
keamanan internal dan eksternal Malaka. Seperti halnya hubungan baik dengan
Cina, tetap dijaga dengan saling mengirim utusan. Pada tahun 1405 seorang duta
Cina Ceng Ho datang ke Malaka untuk mempertegas kembali persahabatan Cina
dengan Malaka. Dengan demikian, kerajaan-kerajaan lain tidak berani menyerang
Malaka.
Malaka Sebagai Pusat Penyebaran Agama Islam
Sebelum muncul dan tersebarnya Islam di
Semenanjung Arabia, para pedagang Arab telah lama mengadakan hubungan dagang di
sepanjang jalan perdagangan antara Laut Merah dengan Negeri Cina. Berkembangnya
agama Islam semakin memberikan dorongan pada perkembangan perniagaan Arab,
sehingga jumlah kapal maupun kegiatan perdagangan mereka di kawasan timur
semakin besar. Pada abad VIII, para pedagang Arab sudah banyak dijumpai di
pelabuhan Negeri Cina. Diceritakan, pada tahun 758 M, Kanton merupakan salah
satu tempat tinggal pedagang Arab. Pada abad IX, di setiap pelabuhan yang
terdapat di sepanjang rute perdagangan ke Cina, hampir dapat dipastikan
ditemukan sekelompok kecil pedagang Islam. Pada abad XI, mereka juga telah
tinggal di Campa dan menikah dengan penduduk asli, sehingga jumlah pemeluk
Islam di tempat itu semakin banyak. Namun, rupanya mereka belum aktif
berasimilasi dengan kaum pribumi sehingga penyiaran agama Islam tidak mengalami
kemajuan.
Sebagai salah satu bandar ramai di kawasan timur,
Malaka juga ramai dikunjungi oleh para pedagang Islam. Lambat laun, agama ini
mulai menyebar di Malaka. Dalam perkembangannya, raja pertama Malaka, yaitu
Prameswara akhirnya masuk Islam pada tahun 1414 M. Dengan masuknya raja ke dalam
agama Islam, maka Islam kemudian menjadi agama resmi di Kerajaan Malaka,
sehingga banyak rakyatnya yang ikut masuk Islam. Selanjutnya, Malaka berkembang
menjadi pusat perkembangan agama Islam di Asia Tenggara, hingga mencapai puncak
kejayaan di masa pemeritahan Sultan Mansyur Syah (1459—1477). Kebesaran Malaka
ini berjalan seiring dengan perkembangan agama Islam. Negeri-negeri yang berada
di bawah taklukan Malaka banyak yang memeluk agama Islam. Untuk mempercepat
proses penyebaran Islam, maka dilakukan perkawinan antar keluarga.
Periode Pemerintahan
Usia Malaka ternyata cukup pendek, hanya satu
setengah abad. Sebenarnya, pada tahun 1512, Sultan Mahmud Syah yang dibantu
Dipati Unus menyerang Malaka, namun gagal merebut kembali wilayah ini dari
Portugis. Sejarah Melayu tidak berhenti sampai di sini. Sultan Melayu segera
memindahkan pemerintahannya ke Muara, kemudian ke Pahang, Bintan Riau, Kampar,
kemudian kembali ke Johor dan terakhir kembali ke Bintan. Begitulah, dari
dahulu bangsa Melayu ini tidak dapat dipisahkan. Kolonialisme Baratlah yang
memecah belah persatuan dan kesatuan Melayu.
3. Kerajaan
Islam di Aceh
Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan
Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Bandar Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada
tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam
menentang imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur
dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan
menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
Awal mula
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri,
kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya
mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru.
Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah
al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1571.
Masa Kejayaan
Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi,
tetapi nyatanya selalu dikendalikan oleh orangkaya atau hulubalang. Kesultanan
Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada
tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka
dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut.
Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung
Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh
menduduki Kedah dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan
Iskandar Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602
dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke
berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van
Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua
ini dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh.
Kemunduran
Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di
antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat
Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli,
Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan
Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara
pewaris tahta kesultanan.
Diplomat Aceh ke Penang. Duduk : Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata
(kanan). Sekitar tahun 1870an.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan
besar dalam melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar
Alamsyah (1795-1824), seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota
kesultanan dengan mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali
pecah namun berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Perancis, Inggris dan Spanyol)
dikembalikan. Tak habis sampai disitu, perang saudara kembali terjadi dalam
perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak
bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).
Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut
dengan Traktat
Sumatera, dimana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib
berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda
di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824
mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh
makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee
Balang Aceh dan utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu
lama Turki. Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan karena Turki saat itu
baru saja berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke
Italia, Perancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di
Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan
alasan ini, Belanda memantapkan diri menyerah ibukota. Maret 1873, pasukan
Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.
Perang Aceh dimulai sejak
Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut
wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Karya Agama
Para ulama Aceh banyak terlibat dalam karya di bidang
keagamaan yang dipakai luas di Asia Tengga. Syaikh Abdurrauf menerbitkan
terjemahan dari Tafsir Alqur'an Anwaarut Tanzil wa Asrarut Takwil,
karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al Baidlawy ke dalam bahasa jawi.
Kemudian ada Syaikh Daud Rumy menerbitkan Risalah
Masailal Muhtadin li Ikhwanil Muhtadi yang menjadi kitab pengantar di dayah sampai sekarang. Syaikh Nuruddin Ar-Raniry setidaknya menulis 27 kitab
dalam bahasa melayu dan arab. Yang paling terkenal adalah Sirath al-Mustaqim,
kitab fiqih pertama terlengkap dalam bahasa melayu.
Militer
Salah satu meriam yang dimiliki Kesultanan Aceh.Pada
masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa teknisi dan
pembuat senjata ke Aceh. Selanjutnya Aceh kemudian menyerap kemampuan ini dan
mampu memproduksi meriam sendiri dari kuningan.
Snouck Hurgronje
Snouck Hurgronje adalah salah satu tokoh yang cukup
fenomenal saat kita berbicara mengenai perang Aceh. Misi utama Snouck adalah
“membersihkan” Aceh. Setelah melakukan studi mendalam tentang semua yang
terkait dengan masyarakat ini, Snouck menulis laporan panjang yang berjudul
kejahatan-kejahatan Aceh. Laporan ini kemudian jadi acuan dan dasar kebijakan
politik dan militer Belanda dalam menghadapai masalah Aceh. Pada bagian
pertama, Snouck menjelaskan tentang kultur masyarakat Aceh, peran Islam,
‘Ulama, dan peran tokoh pimpinannya. Ia menegaskan pada bagian ini, bahwa yang
berada di belakang perang dahsyat Aceh dengan Belanda adalah para ‘Ulama.
Sedangkan tokoh-tokoh formalnya bisa diajak damai dan dijadikan sekutu, karena
mereka hanya memikirkan bisnisnya.
Snouck menegaskan bahwa Islam harus dianggap sebagai
faktor negatif, karena dialah yang menimbulkan semangat fanatisme agama di
kalangan muslimin. Pada saat yang sarna, Islam membangkitkan rasa kebencian dan
permusuhan rakyat Aceh terhadap Belanda. Jika dimungkinkan “pembersihan” ‘Ulama
dari tengah masyarakat, maka Islam takkan lagi punya kekuatan di Aceh. Setelah
itu, para tokoh-tokoh adat bisa menguasai dengan mudah.
Bagian kedua laporan ini adalah usulan strategis soal militer. Snouck
mengusulkan dilakukannya operasi militer di desa-desa di Aceh untuk melumpuhkan
perlawanan rakyat yang menjadi sumber kekuatan ‘Ulama. Bila ini berhasil,
terbuka peluang untuk membangun kerjasama dengan pemimpin lokal. Perlu disebut
di sini, bahwa Snouck didukung oleh jaringan intelijen mata-mata dari kalangan
pribumi. Cara yang ditempuh sama dengan yang dilakukannya di Saudi dulu, yaitu
membangun hubungan dan melakukan kontak dengan warga setempat untuk mendapatkan
informasi yang dibutuhkan. Orang-orang yang membantunya berasumsi bahwa Snouck
adalah seorang saudara semuslim
Mutia Az Zahra
BalasHapusX IPS 3
Rieke Naurah Kayana
BalasHapusX IPS 3
Selvi Varadila
BalasHapusX IPS 3
Farhatul ummi
BalasHapusX IPS 3
Dayyan Nasywa Salsabila
BalasHapusX IPS 3
Raisa khairunnisa ghassani
BalasHapusX IPS 3
Rizkia Nindi Defrilia
BalasHapusX IPS 3
Agung Restu Wibowo
BalasHapusX IPS 3
Nazaruddin Amin
BalasHapusX IPS 3
Bagus Anggoro PUTRa
BalasHapusX IPS 3
M Dzaki Hirzi
BalasHapusX IPS 3
Kartika Aprilia
BalasHapusX IPS 3
Ammara Dara Aisyah
BalasHapusX IPS 3