Kamis, 08 Agustus 2019

Materi Kelas XII Pertemuan 5-6 3.2 menjelaskan upaya bangsa indonesia mempertahankan keutuhan wilayah NKRI

Materi Kelas XII Pertemuan ke 5-6 . 3.2 • Menjelaskan upaya bangsa Indonesia dalam mempertahankan keutuhan wilayah NKRI

Sistem Pemerintahan Bangsa kita sebenarnya adalah bangsa pembelajar. Indonesia sampai dengan tahun 1950-an telah menjalankan dua sistem pemerintahan yang berbeda, yaitu sistem presidensial dan sistem parlementer. Tidak sampai satu tahun setelah kemerdekaan, sistem pemerintahan presidensial digantikan dengan sistem pemerintahan parlementer. Hal ini ditandai dengan pembentukan kabinet parlementer pertama pada November 1945 dengan Syahrir sebagai perdana menteri. Sejak saat itulah jatuh bangun kabinet pemerintahan di Indonesia terjadi. Namun pelaksanaan sistem parlementer ini tidak diikuti dengan perubahan UUD. Baru pada masa Republik Indonesia Serikat pelaksanaan sistem parlementer dilandasi oleh Konstitusi, yaitu Konstitusi RIS. Begitu juga pada masa Demokrasi Liberal, pelaksanaan sistem parlementer dilandasi oleh UUD Sementara 1950 atau dikenal dengan Konstitusi Liberal.
Ketika Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, UUD yang digunakan sebagai landasan hukum Republik Indonesia bukan kembali UUD 1945, sebagaimana yang ditetapkan oleh PPKI pada awal kemerdekaan, namun menggunakan UUD Sementara 1950. Sistem pemerintahan negara menurut UUD Sementara 1950 adalah sistem parlementer. Artinya, kabinet disusun menurut perimbangan kekuatan kepartaian dalam parlemen dan sewaktu-waktu dapat dijatuhkan oleh wakil-wakil partai dalam parlemen. Presiden hanya merupakan lambang kesatuan saja. Hal ini dinamakan pula Demokrasi Liberal, sehingga era ini dikenal sebagai zaman Demokrasi Liberal. Sistem kabinet masa ini berbeda dengan sistem kabinet RIS yang dikenal sebagai Zaken Kabinet. Salah satu ciri yang nampak dalam masa ini adalah sering terjadi penggantian kabinet. Mengapa sering terjadi pergantian kabinet? Hal ini terutama disebabkan adanya perbedaan kepentingan di antara partai-partai yang ada. Perbedaan di antara partai-partai tersebut tidak pernah dapat terselesaikan dengan baik sehingga dari tahun 1950 sampai tahun 1959 terjadi silih berganti kabinet mulai Kabinet Natsir (Masyumi) 1950-1951; Kabinet Sukiman (Masyumi) 1951-1952; Kabinet Wilopo (PNI) 1952-1953; Kabinet Ali Sastroamijoyo I (PNI) 1953-1955; Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi) 1955-1956; Kabinet Ali Sastroamijoyo II (PNI) 1956-1957; dan Kabinet Djuanda (Zaken Kabinet) 1957-1959. Kalau kita perhatikan garis besar perjalanan kabinet di atas, nampak bahwa mula-mula Masyumi diberi kesempatan untuk memerintah, kemudian PNI memegang peranan terutama setelah Pemilihan Umum 1955. Namun PNI pun tidak bisa bertahan lama karena tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi yang akhirnya dibentuk zaken kabinet di bawah pimpinan Ir. Djuanda. Kabinet-kabinet tersebut pada umumnya memiliki program yang tujuannya sama, yaitu masalah keamanan, kemakmuran, dan masalah Irian Barat (saat ini Papua dan Papua Barat). Namun, setiap kabinet memiliki penekanan masing-masing, kabinet yang dipimpin Masyumi menekankan pentingnya penyempurnaan pimpinan TNI, sedangkan kabinet yang dipimpin oleh PNI sering menekankan pada masalah hubungan luar negeri yang menguntungkan perjuangan pembebasan Irian Barat dan pemerintahan dalam negeri. Apabila kita teliti kabinet-kabinet tersebut satu persatu maka akan nampak hal-hal yang menarik. Kabinet Natsir (1950-1951), ketika menyusunkabinetnya, Natsir bermaksud menyusun kabinet dengan melibatkan sebanyak mungkin partai agar kabinetnya mencerminkan sifat nasional dan mendapat dukungan parlemen yang besar. Namun pada kenyataannya, Natsir kesulitan membentuk kabinet seperti yang diinginkan, terutama kesulitan dalam menempatkan orang-orang PNI dalam kabinet. Sehingga Kabinet Natsir yang terbentuk pada 6 September 1950, tidak melibatkan PNI di dalamnya. PNI menjadi oposisi bersama PKI dan Murba. Latar belakang masalah dalam pembentukan kabinet sering kali menjadi faktor yang menyebabkan goyah dan jatuhnya kabinet. Hal ini terlihat ketika Kabient Natsir menjalankan pemerintahannya, kelompok oposisi segera melancarkan kritik terhadap jalannya pemerintahan Natsir. Kabinet Natsir dihadapkan pada mosi Hadikusumo dari PNI yang menuntut agar pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah No 39. tahun 1950 tentang pemilihan anggota lembaga perwakilan daerah. Lembaga-lembaga perwakilan daerah yang sudah dibentuk atas dasar Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 1950 oleh Kabinet Hatta, supaya diganti dengan undang-undang yang baru yang bersifat demokratis karena dalam PP. No. 39 dalam menentukan pemilihannya dilakukan secara bertingkat. Berdasarkan pemungutan suara di parlemen, mosi Hadikusumo mendapat dukungan dari parlemen. Hal ini menyebabkan menteri dalam negeri mengundurkan diri. Kondisi ini menyebabkan hubungan kabinet dengan parlemen tidak lancar yang akhirnya menyebabkan Natsir menyerahkan mandatnya kepada Soekarno pada 21 Maret 1951. Jatuhnya Kabinet Natsir, membuat Presiden Soekarno mengadakan pembicaraan dengan para pemimpin partai untuk memilih tim formatur kabinet yang kemudian menghasilkan Kabinet Sukiman pada tanggal 26 April 1951. Berbeda dengan kabinet sebelumnya yang tidak melibatkan PNI dalam pemerintahannya, kabinet Sukiman berhasil melibatkan PNI di dalamnya, sehingga Kabinet Sukiman didukung oleh dua partai besar, Masyumi dan PNI. Partai-partai pendukung Kabinet Sukiman, melalui menteri-menterinya yang duduk dalam pemerintahan, berusaha merealisasi program politik masing-masing, meskipun kabinet telah memiliki program kerja tersendiri. Hal ini merupakan benih-benih keretakan yang melemahkan kabinet. Sebagai contoh adalah Menteri Dalam Negeri Mr. Iskaq (PNI) yang menginstruksikan untuk menonaktifkan DPRD-DPRD yang terbentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 39/ 1950. Selain itu, Iskaq juga mengangkat orang-orang PNI menjadi Gubernur Jawa Barat dan Sulawesi. Tindakan ini yang menimbulkan pertikaian politik dan konflik kepentingan. Kebijakan lain yang menimbulkan masalah dalam hubungan antara pemerintah dan parlemen adalah ketika Menteri Kehakiman, Muhammad Di unduh dari : Bukupaket.com Sejarah Indonesia 55 Yamin, membebaskan 950 orang tahanan SOB (Staat van Oorlog en Beleg, negara dalam keadaan bahaya perang) tanpa persetujuan perdana menteri dan anggota kabinet lainnya. Kebijakan ini ditentang oleh Perdana Menteri Sukiman dan kalangan militer yang mengakibatkan Muhammad Yamin meletakkan jabatannya sebagai menteri kehakiman. Kondisi Kabinet Sukiman semakin terguncang ketika muncul mosi tidak percaya dari Sunarjo (PNI). Munculnya mosi ini berkaitan dengan penandatanganan perjanjian Mutual Security Act (MSA) antara Menteri Luar Negeri Achmad Subardjo dan Merle Cochran, Duta Besar Amerika Serikat. Hal ini berawal dari nota jawaban yang diberikan Subardjo terhadap Cochran yang berisi pernyataan bahwa Indonesia bersedia menerima bantuan dari Amerika Serikat berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan dalam MSA. Nota menteri luar negeri ini memiliki kekuatan seperti suatu perjanjian internasional. Tindakan Subardjo ini dianggap sebagai suatu langkah kebijaksanaan politik luar negeri yang dapat memasukkan Indonesia ke dalam lingkungan strategi Amerika Serikat, sehingga menyimpang dari asas politik luar negeri bebas aktif. Mosi ini kemudian disusul oleh pernyataan PNI agar kabinet mengembalikan mandatnya kepada presiden untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Akhirnya, dengan didahului pengunduran diri Achmad Subardjo selaku Menteri Luar Negeri, Sukiman pun kemudian menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada 23 Februari 1952. Kalau dibandingkan dengan Kabinet Natsir, dalam Kabinet Sukiman jelas menunjukkan bahwa partai-partailah yang memegang pemerintahan. Mulai dari menyusun program, portopolio, komposisi personalia, pelaksanaan dan tanggung jawab serta cara penyelesaian masalah sepenuhnya terletak di tangan partai. Partai-partai yang ada pada waktu itu belum nampak menonjolkan ideologi masing-masing, perhatiannya masih ditujukan pada pemecahan masalah-masalah praktis yang dihadapi. Kemudian Presiden Soekarno memberikan mandat kepada golongan moderat dari PNI sehingga terbentuk kabinet Wilopo pada 30 Maret 1952. Kabinet ini mendapat dukungan yang lebih luas dibandingkan dengan kabinet sebelumnya, yaitu dengan masuknya PSI dan PSII dalam pemerintahan. Dukungan ini memperkuat upaya kabinet dalam memperoleh dukungan mayoritas di Parlemen. Kondisi ini mempengaruhi iklim politik dalam kabinet dan juga hubungan antarpartai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar